SINTANG – Kami berladang untuk makan, dari ladanglah kami mencukupi kebutuhan akan pangan, dari ladanglah lahir budaya kami Gawai Padi, mulai dari memilih lokasi dengan mendengar suara alam hingga ditutup dengan gawai…(sebagai ungkapan syukur atas hasil panen): ladang kami olah dengan parang, beliung dan cangkul tanpa bahan kimia, untuk menjaga ekosistem bumi kalimantan sehingga menghasilkan beras kampung, ketan (pulut), beras merah, timun kampung, ensabi (sawi ladang) terong asam, pakis, kulat, dll,(tanaman varietas lokal endemik Kalimantan).
Dengan siklus Gilir balik juga kami menjaga ekosistem, karena bekas ladang akan menjadi hutan kembali.
Kini setelah ribuan tahun kami berladang ( sejak zaman nenek moyang kami ) tiba tiba negara melarang dan menangkap kami, mempersalahkan kami yang berladang di tanah sendiri yang hanya untuk makan, menghidupi istri dan anak kami, untuk ketahanan dan kemandirian pangan.
Mereka mengusik dan melarang kami tanpa ada solusi, menuduh kami membakar lahan yang kami sendiri tidak mengerti, lahan mana dan punya siapa yang kami bakar karena kami membakar ladang kami sendiri, bukan ladang orang lain, bukan kebun orang.
Kini hanya satu keinginan kami. Kami “menuntut Keadilan”. “Bebaskan kami” !!!.
“Kami berhak makan untuk hidup”…melarang kami berladang sama saja membunuh kami… membunuh generasi kami (istri dan anak-anak kami, dan membunuh budaya kami).
Sumber : Facebook Dayak